Alwi Hamu, Orang Hebat Dari Indonesia Timur

By Admin


Oleh: Swary Utami Dewi 

nusakini.com, Entah taanggal berapa itu. Aku lupa persisnya. Jika tak salah di akhir 2007. Saat itu aku sedang bertugas ke Makassar. Dan seperti biasa, aku menyempatkan diri berjumpa beberapa sahabat di sana. Seorang kawan mengabarkan ada diskusi menarik di Kantor Fajar -- koran cetak terbesar di sana, yang merupakan bagian dari Fajar Group. Tibalah aku di suatu pagi di gedung tertinggi di Makassar saat itu. Aku menyukai bentuk lancip di puncaknya, yang menurutku agak sedikit seperti ujung pena menukik ke atas. 

Aku menyempatkan diri sejenak ke kamar kecil karena acara belum dimulai. Sesudah itu aku duduk di pojok mengamati siapa saja yang datang. Tempat dudukku itu agak susah dilihat dari bagian depan tempat acara berlangsung karena agak tertutup perabotan tinggi. Tapi aku bisa sesekali mengintip ke arah depan dengan sudut pandang lumayan luas. Aku mengamati siapa saja yang sudah hadir. Rata-rata sudah berusia jauh lebih senior dari diriku. Belum ada satu pun yang kukenal. 

Sesaat datang seorang bapak mendekati dan duduk di sebelah kursi di sebelahku. Ia bertanya aku dari mana. Aku jelaskan sejenak tentang diriku. Bagaimana pendapatmu tentang orang di sini? Baik dan menyenangkan, jawabku. Makassar memang sudah jadi salah satu kota yang lekat dengan diriku cukup lama. Sekitar 30 menit aku ngobrol ringan tentang berbagai hal. Lalu acara dimulai. 

Sesaat kemudian, pembawa acara mengundang sang pemilik koran ini untuk memberikan sambutan selamat datang. "Bapak Alwi Hamu, kami persilakan. Tabe, Bapak di mana, ya?" Pembawa acara tampak agak bingung mencari yang bersangkutan.

"Yang punya gedung ke mana ini, ya? Telat kali..." Aku berkomentar ringan. Bapak di sebelahku tertawa. Dia berdiri lalu berjalan ke arah depan mendekati pembawa acara. Semua orang bertepuk tangan. Ternyata bapak yang tadi mengobrol denganku adalah sang pemilik Fajar Group. Aku sempat terperangah lalu tertawa. Aku mendengar seksama kata sambutannya yang meriah dan santai. 

Lalu di akhir sambutannya, dia menyebut namaku dan meminta aku ke depan sebentar. "Ada yang datang jauh dari Jakarta," ujarnya.

Aku kaget lalu bergegas ke depan untuk menyapa sejenak para hadirin dan mengucapkan terima kasih sudah diterima dengan sangat baik di Gedung Fajar, bahkan langsung oleh sang pemilik. Sesudah diskusi selesai, aku diajak makan siang bersama. Aku juga diperkenalkan dengan beberapa tokoh dari Makassar, sahabat-sahabat dari Alwi Hamu, yang saat itu datang ke acara diskusi.

Semenjak itu, aku menjadi akrab dengan orang baik dari Sulawesi Selatan ini. Hampir setiap ke Makassar aku mengontak beliau. Sesibuk apa pun dirinya, Alwi Hamu hampir selalu punya waktu untuk mengobrol denganku jika dia memang sedang ada di Makassar. Dan mengobrol itu biasanya sambil makan. Bisa di kantornya, bisa di tempat lain di Makassar. Aku terkadang mengajak kawan-kawan Makassar yang ingin bertemu dengannya. Biasanya ia akan bertanya, "Kamu bawa siapa?" 

Alwi Hamu, yang ternyata seorang konglomerat untuk bagian timur Indonesia pada masanya dan bersahabat dekat sejak muda dengan Jusuf Kalla dan Aksa Mahmud, sesekali mengomeliku. "Jangan kamu terlalu polos dan baik ke siapa pun. Kamu itu dekat dengan banyak orang. Jangan sampai kamu dimanfaatkan orang."

Alwi Hamu memang pantas "menegurku", karena memang nyatanya banyak kawan yang ingin dibawa bertemu Alwi Hamu. Ada yang kemudian memajang foto bersama Alwi Hamu di rumahnya. Katanya dia bangga bisa bertemu dan berfoto dengan orang besar dari Sulawesi Selatan. Lalu ada pula seorang kawan yang tenyata mau menjajaki kemungkinan ikut di bisnis Alwi Hamu. Dia mengatakan itu tergantung anak saya. Yang dia maksudkan anak itu ternyata diriku. Aku hanya tertawa sambil menyantap makanan dan menjawab ringan, ah tadi katanya dia hanya mau ikut berfoto dengan Bapak.

Di satu waktu, Alwi Hamu bercerita kesannya saat dia baru pulang dari Taiwan melihat pola pertanian di sana. Dia bercerita majunya teknik pertanian di negara tersebut. Salah satunya dengan menggunakan karpet sawah -- karpet tanah yang bisa digelar dan ditanami padi tanpa mengenal musim. Jika selesai panen, karpet tinggal digulung.

Di waktu yang lain, Alwi Hamu bercerita tentang proses bisnis semen yang baru akan digelutinya. Aku saat itu sempat berkomentar, wah Bapak ternyata memang konglomerat ya. Bisnisnya banyak. Dia hanya tertawa. 

Alwi Hamu juga sempat berkisah tentang perjuangannya membangun bisnis sejak muda. Dia juga pernah mengatakan kepadaku bahwa aktivisme dari muda adalah hal penting. Dia bercerita dirinya menggeluti jurnalisme sejak muda. Selain itu, sewaktu muda dia juga aktif dalam gerakan mahasiswa 1966. Dia bercerita dirinya memimpin Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) di wilayah Sulawesi Selatan.

Suatu ketika aku mendengar kabar Alwi Hamu mengalami stroke. Sejak saat itu, aku tak bertemu beliau. Aku sesekali mendapat kabar tentang dirinya dari salah seorang sahabat yang jadi orang kepercayaannya, yakni Sukriansyah, yang biasa kupanggil Mas Uki. Dan meski tak pernah bertemu lagi, aku selalu merasa dia orang baik dan dekat denganku.

Pagi ini aku mendengar kabar berpulangnya Alwi Hamu. Kabar wafatnya beliau tersebar di banyak grup WhatsApp. Terbayang wajah orang baik ini, yang setiap bertemu selalu ceria dan tertawa terbahak. Orang hebat dari Indonesia Timur ini sudah berpulang menghadap Yang Ilahi. 

Alwi Hamu tentunya sudah tercatat di sejarah hidupku sebagai salah satu orang baik yang banyak memberikan kesan positif. Bagiku, dia meninggalkan dunia fana ini dengan anggun, dengan meninggalkan nama besar sebagai salah satu orang hebat dari Indonesia Timur, sebagai tokoh kawakan media dan salah satu pebisnis besar dari timur Indonesia. 

Beristirahatlah dengan tenang, Pak. Teruslah mengukir langit dengan cerita dan tawa ceriamu. Al Fatihah.